Senin, 18 Juli 2011

Arti cucu bagi Kakek dan Nenek

Hari Minggu, tanggal 17 Juli 2011, istriku tercinta pergi mengantar anak bungsuku untuk menengok kakek neneknya di Banjaran. Terus terang sejak kepindahan kami sekeluarga ke Bandung, kami belum sempat sowan lagi ke Banjaran. Trauma dengan tinggal di kota kecil itu sudah cukup membuat saya enggan berkunjung ke sana, walau ada rasa kangen terhadap kedua mertuaku itu, dengan sangat terpaksa aku tahan. Somehow, aku yakin, rasa rindu mereka untuk saat ini lebih terfokus kepada anak anakku. 



Namun lain halnya dengan kedua mertuaku, rasa kangen terhadap cucu2nya begitu membludak, sehingga semenjak kami sekeluarga pindah lagi ke Bandung, mereka acap kali jatuh sakit secara bergantian. Kadang pikiran naif saya mengatakan, kenapa bisa begitu ya, mereka kan masih punya 3 cucu yang lain, selain kedua anak saya ini ?  Malah sudah hampir dua minggu ini, mereka tengah kedatangan cucu terakhirnya dari Jawa, yang biasanya saya perhatikan, kalau ada cucu yang terkecil atau anggota keluarga baru, maka seluruh perhatian tumpah ruah pada si kecil anggota keluarga baru tersebut. Pada kenyataannya tidak, rasa rindu kepada anak-anakku malah seolah makin menghebat. Waktu liburan terakhir anak sulungku Deva (usia 10 th), saya beri izin untuk menginap selama 2 minggu di Banjaran, namun saat harus pulang ke Bandung, sang Nenek tetap saja meneteskan air matanya, dan memintanya untuk berlibur kembali di Banjaran.

Sekali lagi pikiran naifku terusik ..... lho kan ada cucu (urutan) keduanya, yang kebetulan dititipkan oleh orang tuanya di rumah kakek, dan juga cucu terkecil dari Jawa ? Sebuah kenyataan yang mungkin kecut buat ipar-iparku, ternyata anak-anakku selalu mendapatkan tempat teratas di dalam lubuk hati kedua mertuaku. Kehadiran cucu cucu dari ipar-iparku ternyata tidak mampu menggantikan keberadaan anak anakku di rumah itu. Malah menurut pengakuan Deva anakku, saat berlibur di Banjaran, berulang kali nenek dan kakeknya meminta dia untuk kembali tinggal bersama mereka dan bersekolah kembali di Banjaran. Kedua mertuaku juga berulang kali meminta agar aku dan istriku meminjamkan anak bungsuku untuk menginap di Banjaran.

Luar biasa fenomena ini, rasa rindu yang teramat sangat, telah menjadikan Nenek dan Kakek yang seolah tidak adil, seolah membeda bedakan cucu cucunya. Keinginan yang sepintas hanya memikirkan keinginan sendiri, dan egois, padahal mereka sadar kalau kualitas sekolah di Banjaran jauh di bawah kualitas sekolah di Bandung, padahal mereka tahu akses untuk ke dokter anak di Banjaran lebih jauh dari pada di Bandung ( jarak kurang lebih 2 km, dan harus berjalan kaki dahulu sebelum naik angkot ). Kemungkinan rasa iri dari orang tua cucu-cucu mereka yang kurang mendapat perhatian / tidak mendapat perhatian atau rasa rindu dari seorang kakek nenek seperti kepada anak-anakku. Rasa iri / cemburu yang tercermin secara halus sudah tertangkap olehku dari adik iparku, orang tua dari 2 orang cucu mertuaku, namun itu lah .... pesona kedua anakku seolah membius kedua mertuaku yang akhirnya mengabaikan rasa cemburu iparku itu.

Sebuah dilema harus aku alami, kenapa ? satu sisi sebagai menantu aku sedih melihat kedua mertuaku begitu tersiksa karena jauh dari kedua cucu kesayangannya, satu sisi aku tidak bisa jauh dari kedua anak-anakku. Pikiran naifku ( lagi2 menyalahkan pikiran naif hehehe ) mengatakan, kalau kedua mertuaku kan masih punya cucu cucu yang lain, sedangkan aku ? hanya punya 2 anak ini saja. Aku juga (maaf) kurang percaya dengan kualitas pola didik mereka, kenapa aku sampai berpikiran seperti itu, karena hasil nyata pola didik mereka yang ( maaf ) GAGAL, ada dan nyata, juga kebetulan tinggal satu rumah dengan mereka. Sebagai ayah sudah tentu aku merasa khawatir kalau anak-anakku harus satu atap dengan individu yang tidak baik dilihat sebagai contoh, secara anak anakku sedang memasuki masa memperhatikan dan meniru apa apa yang mereka lihat, terutama anak bungsuku Dhio ( usia 3 tahun 5 bulan ), belum lagi sepupu sepupunya, yang kelakuannya sebagai anak anak boleh dibilang minus karena pola didik yang kurang serta perhatian yang minim dari kedua orang tuanya. Salah satu contoh, sepupu Dhio yang kurang lebih seumur sudah memakai nama binatang dalam kosa katanya saat mengumpat atau sekedar akhiran kalimat ..... Astagfirullah ..... Yang lainnya suka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan perhatian dari kakek neneknya atau tante tantenya, dengan berbohong atau memfitnah .... Astagfirullah anak kecil yang begitu haus perhatian akhirnya terdorong untuk memfitnah demi sebuah perhatian ????

Semua fakta ini yang membuatku berat melepas anak-anakku untuk liburan / dipinjam apalagi tinggal bersama kakek neneknya. Sementara itu pada saat yang sama, aku sadar betul, betapa berartinya kedua anakku bagi mertuaku, aku tidak bisa menghakimi mereka atas perasaannya kalau mereka tidak adil, karena aku sadar mereka tetap manusia biasa, begitu juga aku. Suatu saat aku juga akan menjadi seorang kakek, aku juga tidak pernah tahu apa kelak, aku bisa menjadi seorang kakek yang adil ? yang pasti kejadian ini akan aku jadikan bahan pelajaran, dengan harapan aku tidak melakukan "kesalahan" yang sama.  

Dari semua inilah, aku dan istriku mempunyai semacam keinginan atau janji, kelak bila Allah SWT. meminjamkan / mempercayakan rezeki berlebih kepada kami, kami ingin membawa kedua orang tua kami ini untuk tinggal bersama kami, agar mereka dapat selalu berdekatan dengan anak anak kami dan sekaligus kami berdua bisa merawat mereka di usia mereka yang sudah senja ini. Mudah mudahan Allah meridhoi cita cita aku dan istriku ini, Aamiin Aamiin Aamiin YRA. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar